Parasit Lajang, Sebuah Curahan Hati Perempuan Single
Oleh : Mariana Lusia Resubun
“Parasit Lajang” (Sebuah cerita dari seorang perempuan di usia dewasa, yang terkadang masih merasa sebagai gadis kecil ibunya).
Parasit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: n 1 benalu; pasilan; 2 organisme yang hidup dan mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya; 3 ki orang yang hidupnya menjadi beban (membebani) orang lain. Lajang berarti sendirian (belum kawin); bujangan. Meminjam judul novel dari Ayu Utami, bolehlah kusebut diriku sendiri “Si Parasit Lajang” karena di usiaku ini, aku masih melajang dan masih menumpang tinggal di rumah ibuku.
Ingin kukembali ke masa dimana “Suwidak Loro” menjadi pengantar tidur. Ketika huruf belum bisa kurangkai menjadi kata dan kata-kata yang terangkai menjadi kalimat adalah cerita yang dilantunkan oleh ibuku dan aku hanya seorang pendengar setia. Sebuah dongeng dari tanah Jawa, suwidak artinya enam puluh, sedangkan loro artinya dua. Jadi, Suwidak Loro berarti enam puluh dua. Diceritakan versi ibuku, seorang perempuan asli Maluku kelahiran Papua, jadi mohon dimaafkan dan dimaklumi apabila tidak sesuai dengan versi aslinya. Suwidak Loro adalah seorang gadis buruk rupa yang hanya mempunyai 60 helai rambut dan 2 buah gigi. Walaupun wajahnya buruk rupa, Suwidak Loro sangat dicintai oleh ibunya yang janda. Setiap hari ibunya selalu berkata “ Suwidak Loro anakku yang cantik, suatu hari raja akan datang melamar dan menikahimu”.
Masih menurut cerita ibuku, karena mereka miskin dinding rumah mereka hanya terbuat dari gaba-gaba (pelepah pohon sagu) yang telah jarang-jarang karena rusak termakan usia, percakapan mereka seringkali didengarkan oleh para tetangga. Karena merasa jengkel dan tidak mungkin, pemimpin mereka, raja yang tampan menikah dengan Suwidak Loro yang buruk rupa. Para tetangga melaporkan Suwidak Loro dan ibunya kepada raja, raja pun mengeluarkan titah apabila Suwidak Loro cantik beliau akan menikah dengannya, tetapi kalau jelek Suwidak Loro dan ibunya akan dihukum mati.
Hari yang dinantikan tiba, raja menyuruh utusan menjemput Suwidak Loro dan ibunya. Persyaratan dari sang ibu, Suwidak Loro harus dijemput dengan tandu yang ditutup rapat dan tak seorang pun boleh melihatnya. Sepanjang perjalanan sang ibu terus menyanyi tanpa henti, mulai dari lagu “Dari Sabang sampai Merauke, Hallo-Hallo Bandung, Ibu Kita Kartini dan lagu-lagu perjuangan lainnya”. Ketika sampai di kerajaan dan raja membuka tandu, yang dilihatnya adalah Suwidak Loro yang cantik jelita, sehingga raja jatuh cinta dan menikah dengannya. Ibunya pun diangkat menjadi kepala dapur istana, para tetangga yang melaporkan Suwidak Loro dihukum oleh raja karena dianggap menyebarkan fitnah.
Ibarat “sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui” dalam cerita Suwidak Loro versi ibuku, tidak hanya mengajarkan arti cinta tulus dari seorang ibu kepada anak sehingga mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ibuku juga mengajarkanku lagu-lagu perjuangan, melalui lagu-lagu yang dinyanyikan oleh ibu Suwidak Loro. Mungkin sebagai seorang pendidik itulah caranya mengajarkanku arti nasionalisme sedari dini melalui cerita dan lagu.
Masa ini merupakan masa ketika aksara belum kupahami namun melalui cerita ibuku pula, aku dapat mengenal Petualangan Lima Sekawan karangan Enid Blyton cerita tentang petualangan detektif cilik, yaitu George (Georgina) Kirrin, Dick Kirrin, Julian Kirrin, Anne Kirrin dan seekor anjing kesayangan George bernama Timmy (Timothy). Sebuah kisah yang menceritakan arti persahabatan dan kecerdasan dalam memecahkan kasus-kasus yang dijumpai dalam petualangan mereka.
Ketika huruf-huruf dapat kurangkai menjadi kata dan kata-kata kurangkai menjadi kalimat, ibuku mengenalkanku dengan “cerita dari negeri dongeng” tentang petualangan Oky dan Nirmala, atau cerita keluarga Bobo (Bapak, Emak, Coreng, Upik dan Cimut) bersama Bibi Titi Teliti dan anak-anaknya (Tut-tut, Lobi-lobi dan Dung-dung) dan bibi Tutup Pintu bersama anak-anaknya (Kutu Buku dan Simpul) serta tidak ketinggalan Paman Gembul yang doyan makan. Atau kisah Bona si gajah kecil berbelalai panjang yang cerdik dengan sahabatnya Rong-rong. Aku rindu masa ini, masa berseragam merah putih dan berebutan majalah Bobo bersama adik dan kakakku. Aku rindu masa ini, masa ketika berkunjung ke rumah saudara dan meminjam koleksi majalah Donal Bebek atau Paman Gober mereka. Aku rindu masa ini, masa dimana kusisihkan uang jajan dengan menahan lapar serta haus untuk menyewa buku cerita milik teman sekelas.
Aku rindu masa berseragam putih biru ketika mengenal kisah percintaan khas ABG dari majalah Aneka Yess, Gadis, Hai dan Kawanku serta jutaan tips dan informasi bagi anak baru gede dari majalah-majalah remaja ini. Aku rindu masa perkenalanku dengan cerita fiksi ilmiah dari sekolah sihir Hogwarts, novel Harry Potter yang kupinjam dari temanku dan kubaca secara sembunyi-sembunyi di balik buku pelajaran karena membacanya menjelang waktu ujian sekolah, aku sibuk melafalkan mantra “Aparecium” dan berharap jawaban ujian menjadi tulisan tak terlihat dan hanya dapat dibaca olehku. Joanne Kathleen Rowling menjadi penulis novel fiksi ilmiah pertama yang karyanya dibaca olehku.
Aku rindu ketika tak sengaja menemukan novel “tua” berjudul Pengantin tak Terduga, karya Barbara Cartland. Aku langsung jatuh cinta kepada tokoh Lucinda Belvil, sosok perempuan “yang tidak cantik” namun mempesona dengan keunikannya yang tidak dimiliki perempuan lain di masa itu, masa klasik di abad 17 atau 18 Masehi di Inggris. Aku ingin kembali ke masa ini ketika menemukan “harta karunku” sebuah bundelan majalah tua entah milik siapa, majalah yang membedah dan menyelisik lebih dalam suatu karya sastra, majalah Horison. Aku ingat kata “ sekelebat” yang menjadi bahan pembahasan dari novel Olenka karya Budi Darma. Kata yang lazim digunakan dalam cerita silat untuk menggambarkan para pendekar yang “sekelebat” atau selayang pandang terlihat karena gerakannya sangat cepat akibat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga menjadi tidak lazim digunakan pada cerita di luar “dunia persilatan”. Novel yang akhirnya dapat kubaca ketika berseragam putih abu-abu, kupinjam dari perpustakaan sekolah.
Aku tahu sinopsis novel Burung-Burung Manyar karya Romo Y. B Mangunwijaya, yang novelnya akhirnya dapat kubaca setelah menanggalkan seragam putih abu-abuku, kupinjam dari perpustakaan daerah. Dari bundelan itu pula aku mengenal Leo Tolstoy melalui karya-karyanya seperti, Anna Karenina, Tuhan Tahu Tapi Menunggu dan Perang & Damai. Novel Anna Karenina akhirnya kubeli dan kubaca ketika menanggalkan seragam putih abu-abuku, namun rupanya terlalu berat dicerna oleh otakku yang tumpul dan hingga kini pun belum dapat kuserap dan kumengerti kisah itu. Namun hal yang paling berkesan dalam penemuan harta karunku itu, adalah aku menjadi manusia romantis, terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono,
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,
aku ingin mencintaimu dengan sederhana; isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Aku ingin kembali di masa-masa menggunakan seragam putih abu-abu, masa membaca komik remaja romantis berjudul Throbbing Tonight karya Koi Ikeno yang kupinjam dari kawanku, cerita tentang percintaan antara manusia serigala dengan vampir. Sebuah cerita yang kemudian menurutku mengilhami sinetron di zaman itu berjudul Kisah Cinta Si Hantu Cantik yang ditayangkan di RCTI dan dibintangi oleh Adhitya Putri dan Rionaldo Stokhorst. Sebuah jaman ketika aku mulai mengoleksi novel percintaan klasik karya Barbara Cartland seperti: Putri Pemberontak, Surga di Penang, Guruku Malang, Pilih Cantik atau Pintar?, Perjalanan Menuju Bintang dan Tawanan Cinta.
Suatu zaman dimana aku mulai jatuh cinta dan akhirnya mengoleksi novel karya Agnes Jesica sejak pertama kali membaca novel yang berjudul Three Days Cinderella, sebuah novel yang akhirnya dihibahkan sebagai kenang-kenangan oleh sahabat kepadaku. Lalu aku mulai mengumpulkan novel karyanya yang lain yang berjudul Rumah Beratap Bougenville. Hingga kini aku masih mengoleksi dan terus mengumpulkan novel karya Barbara Cartland dan Agnes Jesica, sehingga petugas toko buku menjadi hafal padaku.
Aku juga mulai mengenal novel remaja karya Meggin Patricia Cabbot yang berjudul The Princess Diaries yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang diperankan oleh Anne Hathaway sebagai Putri Amelia Mignonette Thermopolis Renaldi (Mia Thermopolis). Masa ini pula aku mengenal novel berlabel remaja “Teenlit” karya Esti Kinasih seperti Fairish dan Cewek yang kupinjam dari teman. Aku sangat berterima kasih kepada guruku, pahlawanku, ibuku yang mendukungku dalam hobiku membaca dan mengoleksi novel, karena dari kekurangannya ada sedikit “jatah” buatku untuk hobiku ini.
Aku rindu masa-masa di bangku kuliah, masa sepulang kuliah membantu ibuku membuat es lilin, demi asap dapur tetap mengepul. Suatu masa ketika ayahku telah pergi untuk selamanya. Masa dimana hiburan kami (aku, ibu dan adikku) adalah pergi ke toko buku dan membeli berbagai buku, novel dan majalah kesukaan kami sebagai pelipur gundah gulana sembari melihat jendela dunia untuk menambah cakrawala ilmu pengetahuan. Walaupun makan kami pas-pasan, tidak ada emas yang melingkar di badan, aku merasa beruntung ibuku tidak pelit untuk hobi kami membaca.
Suatu masa ketika cinta diibaratkan seperti rasa kopi melalui novel Cintapuccino karya Icha Rahmanti. Masa-masa terinspirasi mengejar mimpi seperti yang diceritakan dalam Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Masa-masa memandang cinta dari sudut pandang berbeda, sudut pandang seorang lelaki melalui karya Andrei Aksana seperti Preety Prita dan Lelaki Terindah. Masa ketika mengenal Stephanie Meyer melalui karyanya Twilight the series, dimana novel pertama kupinjam dari kawan dan akhirnya aku bisa memiliki dan mengoleksinya secara lengkap.
Aku rindu masa kuliahku, sebuah masa di mana aku rajin “parkir” di perpustakaan daerah guna memuaskan hasratku akan cerita cinta berbau dunia kedokteran karya Mira W. Aku rajin meminjam novel karya Maria A Sardjono atau membaca novel Salah Asuhan dari Abdoel Moeis atau membaca novel klasik Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana atau meminjam novel Saman dan Larung karya Ayu Utami. Aku juga rajin meminjam dan membaca novel-novel karya NH Dini, yang di masa sekarang kutahu merupakan ibu dari Pierre Coffin, sang animator tokoh Minions. Aku yakin bakat seninya ini pasti mengalir dari sang ibu NH Dini. Pada masa ini kecintaanku akan karya sastra kuwujudkan dengan membaca dan mengoleksi karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Gadis Pantai, Midah Si Manis Bergigi Emas dan Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
Pada zaman kuliah pula, aku membaca cerita bertema seksualitas yang diceritakan dengan indah namun sarat akan makna, perjuangan dan kritik sosial. Berlatar di masa orde lama, orde baru dan era reformasi melalui karya-karya Ayu Utami. Aku membaca novel dari wanita yang bernama lengkap Justina Ayu Utami, novelnya yang berjudul Saman, Larung, Si Parasit Lajang, Bilangan Fu, Manjali & Cakrabirawa, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang, Lalita dan Maya menjadi bagian dari koleksiku. Aku juga membaca cerita bertema seksualitas, terutama tentang pelecehan seksual terhadap wanita dan anak-anak yang diceritakan secara apik oleh Djenar Maesa Ayu melalui novelnya Mereka Bilang Saya Monyet dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu).
Sekarang aku berada pada masa dimana buku Konservasi Tanah dan Air dari Sitanala Arsyad menjadi bacaan wajib yang harus kubaca dan kupahami. Buku Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari Chay Asdak, buku Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tata Guna Lahan karya Hardjiwigeono dan Widiatmaka, buku Penyelamatan Tanah, Air & Lingkungan, buku Ekologi Papua, buku Merevolusi Revolusi Hijau, buku Dasar-Dasar Ilmu Tanah, buku Tata Ruang Air Tanah dan buku Tata Ruang Air menjadi penghias lemari kamarku. Namun buku-buku ini tampak mulus seolah tak tersentuh. Pertanyaan ini kemudian muncul di benakku, apakah aku salah masuk kamar? Salah memasuki dunia sains mungkinkah tempatku sebenarnya di dunia sastra?
Ingin kukembali ke masa itu, masa dimana tak ada beban yang dipikul. Masa ketika aku berada di pangkuan ibuku, kecupan darinya sebagai obat penenang bagiku. Suaranya ketika bercerita adalah obat pengantar tidur bagiku. Namun aku harus kembali ke masa kini dan menghadapinya, suatu masa dimana aku adalah seorang mahasiswi di usia menjelang “kepala tiga”. Masa ketika aku masih berstatus anak gadis ibuku, menjadi “Si Parasit Lajang” yang menumpang di rumahnya. Ingin rasanya kuakhiri masa ini, dengan menjadi “Eks Parasit Lajang” dan mengulang kembali cerita yang diceritakan ibu kepadaku, untuk buah hatiku kelak, mengenalkannya pada “membaca” sedari dini. Ingin rasanya kupeluk ibuku dan kukatakan banyak terima kasih karena telah merawat dan membesarkanku. Aku cinta ibuku.
Leave a Reply