HIV dan Anak
Di Indonesia, sejak pertama kalinya HIV terdiagnosa di Bali pada tahun 1986, kasus HIV berkembang pesat (Susami, Samsudridjal & Keumala, 2009), jumlah kasus HIV dan AIDS berdasarkan estimasi pada bulan April dan Juni 2011 sebanyak 26.483 AIDS dan 66.693 HIV, dimana anak-anak termasuk didalam angka tersebut. Saat ini, data anak yang dirawat jalan dengan HIV positif di Rumah Sakit Cipto Mongunkusumo (RSCM) Jakarta ada lebih dari 300 anak sejak tahun 2002 (Riono, 2009). Data terbaru, di RSCM setiap bulannya ada bayi yang positif HIV sebanyak 210 bayi (Djoerban, 2012). Hal ini mungkin saja akan dialami beberapa anak balita di propinsi selain Jakarta, mengingat kasus HIV juga mulai menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.
Perempuan seringkali tidak tahu status HIVnya karena ketidaktahuannya akan gejala HIV dan pengetahuannya tentang penyakit HIV masih kurang. Selain itu banyak sekali perempuan tidak tahu kalau HIV bisa ditularkan melalui hubungan seksual dengan suaminya, bukan hanya jika seseorang berperilaku berisiko. Mitos yang berkembang di masyarakat bahwa hanya perempuan pekerja seks komersial saja yang dapat tertular HIV. Mitos ini mempengaruhi pola pikir perempuan dalam hal kurangnya kewaspadaannya terhadap gejala-gejala yang dialaminya.
Hal ini sangat disayangkan karena mata rantai penularan dari ibu ke anak seharusnya bisa dicegah jika sang ibu lebih dini tahu akan statusnya sehingga dia bisa melakukan perilaku-perilaku preventif guna mencegah anaknya tertular HIV atau sering disebut PMTCT (prevention of mother-to-child transmission). Perempuan seharusnya diberikan informasi tentang HIV dan pentingnya memeriksakan diri jika ada ia atau pasangannya berperilaku berisiko selain secara khusus juga diberikan informasi tentang PMTCT baik secara umum maupun khusus seperti PMTCT jika kehamilan terjadi.
Dalam PMTCT jika kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8% (Spritia, 2011).
Pada saat awal anak diketahui status HIVnya, kondisi anak biasanya sangat buruk, sehingga pengobotan membutuhkan perawatan yang intensif. Namun setelah kondisi anak berangsur membaik maka cukup kunjungan rutin ke dokter untuk menerima pengobatan. Kunjungan rutin ke dokter dalam rangka pengobatan anak HIV dilakukan rutin setiap bulan sekali namun jika kondisi anak tidak baik atau sedang sakit, kunjungan ke dokter bisa lebih dari sekali.Bisa jadi kondisi anak sangat parah sehingga butuh perawatan.
Tidak semua anak langsung mendapatkan terapi ARV untuk pengobatannya, ada juga yang belum perlu karena kondisinya cukup baik dilihat dari angka CD4 nya yang masih cukup tinggi. Pada anak yang kondisinya tidak baik, berat badan tidak bertambah dan CD4 tidak ada kenaikan bahkan turun maka bisa diberikan terapi ARV lini pertama.Namun terapi ARV membutuhkan perhatian khusus karena bisa jadi akan menyebabkan kegagalan dalam pengobatan. Menurut Institute of HIV/AIDS dari Family Health International (2011) menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan gagalnya pengobatan seperti adanya resistensi terhadap ARV sejak awal, kelemahan dalam pemberian resep dan tidak adanya kepatuhan.
Salah satu kebutuhan anak adalah terpenuhinya haknya untuk bermain dan mendapatkan pendidikan tanpa harus mengalami diskriminasi terkait statusnya. Masih tingginnya stigma masyarakat menyatakan terhadap HIV menyebabkan kesulitan untuk menerima anak dengan status HIV dan akibatnya terjadi penelantaran terhadap anak HIV. Hal ini seharusnya tidak terjadi bila masyarakat tahu bahwa penularan HIV tidak mudah, jadi bisa dicegah dengan kehati-hatian dan tidak berperilaku berisiko.
Dalam hal ini jika orangtua, keluarga ataupun masyarakat bisa bersama-sama menjaga akan mengurangi risiko bahkan menutup pintu penularan. Orangtua menjaga anaknya dan menghentikan penularan HIV secara bersamaan dengan memberikan informasi ke anak untuk menjaga dirinya seperti dalam hal menjaga agar lukanya tidak dibiarkan terbuka. Karena informasi ini umum,seharusnya informasi ini juga disosialisasikan ke semua anak karena dapat mengatasi infeksi penularan selain HIV.
Selanjutnya adalah pendidikan, anak berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan usianya. Saat ini anak HIV banyak yang sudah akan masuk usia sekolah, sehingga kebutuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan dasar anak. Sekolah harus menjadi tempat yang kondusif bagi anak HIV. Kondusif dalam arti bahwa seluruh elemen menerima keberadaan anak HIV dan juga membantu jika terjadi masalah yang berkaitan dengan status kesehatannya.
Yang juga menjadi penting adalah mengajak ODHA dan keluarga untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini selain dapat meningkatkan rasa percaya diri pada ODHA, juga dapat meningkatkan kewaspadaan dan partisipasi masyarakat terhadap HIV dan AIDS. Salah satu peran LSM yang sangat dibutuhkan adalah memberikan dampingan dengan empati terhadap ODHA, bukan hanya pengobatan fisik namun secara emosional (Muhammad dkk, 2009).
Leave a Reply