Anak dan Lingkaran Setan Sinetron
Endro S. Effendi
Beberapa kali saya menjumpai artikel atau keluh kesah dari netizen, menyampaikan soal dampak sinetron atau tayangan televisi Tanah Air yang tidak baik untuk anak-anak atau sang buah hati.
Sahabat, saya juga pernah mengalami hal ini. Bingung dan tidak tahu harus dengan cara apa membentengi anak-anak dari tayangan yang merusak ini. Jujur, ketika itu buah hati saya juga sempat kecanduan salah satu tayangan sinetron televisi swasta. Penyebabnya, hanya karena tidak mau dianggap ketinggalan ketika teman-temannya bercerita soal sinetron itu di sekolah.
Hingga kemudian, saya mendalami teknologi pikiran dan mendapat materi soal Hypnotherapy for Children alias Hipnoterapi untuk Anak. Tentu, bukan berarti anak langsung di hipnosis supaya tidak menonton tayangan itu lagi. Namun, metode yang ada dalam hipnoterapi anak itu, cukup efektif dalam mengubah perilaku anak.
Pembaca yang budiman, di tengah gempuran media yang cukup intens, saat ini setiap orang mendapatkan serangan informasi dari 8 penjuru arah mata angin. Tidak cukup dengan itu, juga ditambah dari atas dan dari bawah. Informasi dan hiburan sedemikian rupa bergentayangan dan selalu berusaha menjamah setiap orang, termasuk anak-anak.
Tentu, kita tidak akan bisa mengubah kondisi ini. Sampai bumi ini lelah berputar, gempuran hiburan dan informasi ini justru akan intens. Pendek kata, kita akan sulit berharap orang lain memahami ini. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah, fokus pada apa yang bisa diubah dari diri sendiri.
Meski sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia, ditambah keberadaan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik, plus Kementerian Komunikasi dan Informatika, faktanya tayangan yang dianggap merusak itu masih ‘merajasinga’ lebih parah dari merajalela.
Industri penyiaran ini ibarat lingkaran setan yang tidak ketemu ujung pangkalnya. Penonton mengeluh, tayangan sinetron dianggap tidak mendidik. Namun faktanya, dari rating yang dilakukan perusahaan survei, tayangan seperti ini justru laris manis dan sangat digemari. Karena tayangannya digemari, maka iklan pun antre untuk ditayangkan di sela sinetron ini. Selanjutnya, stasiun televisi yang jelas-jelas mencari uang dari iklan, tidak akan rela melepas penghasilan yang sedemikian besar itu.
Lantas, siapa yang salah? Apakah stasiun televisi yang salah. Nyatanya, tayangan yang dianggap tidak mendidik itu juga ditonton lho. Laris pula.
Karena itu, cara yang paling mudah untuk menghentikan tayangan yang kurang mendidik adalah membiasakan diri sendiri untuk tidak menonton tayangan ‘sampah’ ini. Jika setiap orang berhenti melihat sinetron yang tidak jelas itu maka ratingnya tentu akan turun. Kalau penggemarnya turun, maka ratingnya juga akan anjlok, dan pemasang iklan pasti kapok mengeluarkan uang untuk tayangan yang tidak disukai. Kalau sudah begini, maka stasiun televisi akan berupaya lebih kreatif menyuguhkan tayangan lebih berkualitas.
Masalahnya adalah, banyak yang mengeluh sinetron merusak, tapi orangtuanya sendiri justru menjadi jamaah tetap sinetron tersebut. Si orang tua takut ketinggalan gosip, ketika besok belanja sayur di depan rumah. Takut dianggap kurang update hanya karena tidak mengikuti sinetron yang sedang booming.
Parahnya, wabah sinetron ini bahkan sudah terang-terangan merangsek ke dunia formal pendidikan. Bukankah sudah banyak beredar bukti, soal ujian atau ulangan, justru diambil dari sinetron yang sedang tayang. Ini benar-benar sudah keblinger. Kok ya bisa-bisanya soal pelajaran diambil dari sinetron. Ini sama saja memaksa anak sekolah harus mengikuti sinetron yang sedang tayang. Jaga-jaga kalau nanti ada soal sinetron yang keluar di ujian semester.
Revolusi mental, sudah sepatutnya bukan hanya ditulis besar-besar di spanduk atau di ruang-ruang seminar. Revolusi mental yang paling tepat adalah, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang.
Jangan lelah dan jangan pernah berhenti memberikan edukasi pada anak, tentang tayangan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Selain diberikan arahan, juga berikan keteladanan dengan tidak menonton tayangan yang merusak pikiran bawah sadar.
Beruntung, kini tiga buah hati saya sama sekali tidak pernah menyentuh sinetron. Kenapa, karena bapak dan ibunya juga tidak pernah mengajarkannya. Kalau pun menonton televisi, 99 persen adalah film kartun. Ini pun tetap dengan pendampingan.
Jika sedang malas menonton televisi, yang ditonton adalah you tube, berkaitan dengan berbagai kreativitas anak. Dari mulai origami, membuat play dooh, atau membuka resep kue.
Agar anak tidak merasa perlu menonton tayangan tidak bermutu, pastikan anak selalu nyaman bersama kedua orang tuanya. Teori Lima Bahasa Cinta yang pernah saya tulis sebelumnya, bisa menjadi solusi yang tepat, sehingga anak tidak merasa perlu mengisi baterainya sendiri dengan televisi. Jika anak sudah merasa tangki cintanya penuh oleh orang tuanya, maka tidak diperlukan lagi yang lain.
Leave a Reply