Inspirasi Cobek Swan Kumarga
Banyak kisah sukses dimulai dengan membangun usaha dari bawah. Dengan segala pengalaman susah senangnya, meraih sukses tentu tak hanya dalam sekejap mata. Keringat dan air mata menjadi sahabat setia ketika ketekunan, keuletan, semangat pantang menyerah diuji. Tak terkecuali kisah inspirasi cobek Swan Kumarga.
Bernama asli Swandani Kumarga, perempuan asli Solo, Jawa Tengah ini adalah pemilih usaha kuliner Dapur Solo. Saat ini, gerai Dapur Solo sudah tersebar di lima titik strategis di seputar Jakarta dan Tangerang—dua di kawasan Sunter dan yang lainnya di bilangan Matraman, Panglima Polim, serta Serpong.
Dapur Solo, selain memantapkan diri sebagai usaha rumah makan, juga memperkuat usaha kulinernya melalui divisi katering, lunch box, serta toko pusat oleh-oleh Sowan. Bisnisnya yang kini merambah ke berbagai bidang kuliner ini ternyata dimulai dari sebuah inspirasi dari cobek ketika dulu ia berjualan rujak dan jus di garasi rumahnya.
Setelah menikah dengan Heru Kumarga di tahun 1986 dan melahirkan anaknya, Karina Rosalin Kumarga, Swan merasa jenuh dan ingin mempunyai kegiatan. Swan kemudian mempunyai ide untuk berjualan makanan. “Tujuan awalnya sih, saat itu hanya ingin menghemat uang jajan dan mencari kesibukan,” katanya.
Sebagai penggemar berat rujak buah, Swan berpikir keras bagaimana caranya agar bisa makan rujak setiap hari, tanpa mengeluarkan uang banyak. “Saat itu, harga rujak tiga ratus perak per bungkus. Sementara, gaji suami saya hanya seratus ribu rupiah,” Swan berkisah.
Dia pun mulai berhitung. Kalau setiap hari makan rujak selama sebulan, berarti gaji suaminya dihabiskan sebanyak sembilan ribu rupiah hanya untuk rujak saja. Swan akhirnya memutuskan untuk berjualan rujak dan jus buah saja. Modal awalnya sebuah blender dan uang 100 ribu rupiah yang ia gunakan untuk membeli cobek, alat penggiling es, gelas, serta bahan-bahan untuk membuat rujak dan jus.
Swan menggunakan metode promosi sederhana untuk mempromosikan usahanya,. Bersepeda, ia mulai berkeliling komplek perumahannya di daerah Sunter Jakarta. Di sepanjang perjalanan, Swan membagikan brosur kepada asisten rumah tangga atau pemilik rumah yang dijumpainya. Swan bahkan tak segan mengajak serta Karina, putri semata wayangnya. Didudukkannya gadis cilik itu di keranjang sepeda, sementara Swan berpromosi membagikan brosur rujak buah olahannya.
Jerih payah ibunda kesayangan Karina tak sia-sia. Berangsur-angsur pembeli berdatangan ke garasi rumah Swan demi menikmati rujak buah dan jus buatannya. Di saat laris, omset yang Swan dapat bisa mencapai Rp 150 ribu sebulan.
Bukan usaha namanya kalau tidak mengenal pasang surut. Musim hujan rupanya mendatangkan ujian tersendiri bagi Swan. Pepatah panas setahun dihapus hujan sehari seperti menemukan teks yang pas dengan pengalaman Swan—bila di musim terang rujak buatannya bisa laku minimal tiga puluh bungkus, di musim hujan hanya dua tiga bungkus saja yang dibeli pelanggan.
Tapi, Swan pantang mundur. Dengan penuh percaya diri, ia kembali mempromosikan dagangannya. Musim hujan kali ini, cobek yang biasa ia gunakan untuk membuat bumbu rujak dipercaya mengemban satu tugas baru: meracik bumbu gado-gado. Strategi barunya perlahan menampakkan hasil—pelanggannya pun tertarik memesan racikan gado-gadonya.
Sayang, pelanggan tak begitu suka dengan bumbu gado-gado yang hanya diulek menggunakan cobek andalan. Tenaga yang terbatas membuat Swan kewalahan ketika harus menggerus kacang sampai benar-benar halus. Pelanggannya mengeluh dan kecewa berat. Lalu, apakah Swan patah arang?
Ohhh tentu tidak. Berbekal tabungan yang disisihkannya dari keuntungan berjualan rujak, Swan kemudian membeli alat penggiling kacang. Berkat alat ini, bumbu gado-gado buatannya pun makin enak. Ditambah lagi, musim yang berangsung kering membuat rujak buahnya kembali dicari pelanggan.
Perlahan namun pasti, bisnisnya menampakkan kemajuan. Di tahun 1988, Swan memberanikan diri mencicil ruko berukuran 5×19 meter persegi di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Di ruko ini, Swan menjual beragam makanan khas Jawa. Nasi langgi, pecel, gudeg, dan wedang ronde jadi menu andalan di warung Swan.
Dua tahun usaha yang dilabelinya Rumah Makan Solo ini mengalami pasang dan surut, Swan melakukan semuanya seorang diri. Mulai dari berbelanja, memasak, hingga menjual ke para pelanggan. Bahkan, pukul 1 pagi ketika orang-orang tengah tertidur lelap, Swan malah berangkat belanja ke pasar Senen. Tahun 1995, Heru, sang suami, mulai turun tangan membantu usahanya. Dan, sejak 2003 RM Solo berganti nama menjadi Dapur Solo Ny. Swan.
Selama menggeluti usahanya, Swan tak enggan blusukan sampai ke pedalaman Solo demi mencari resep orisinal dari makanan yang dijualnya. Kini, Swan sudah menjadi pengusaha kuliner terkemuka dan nama Dapur Solo telah menjelma sebagai oase kuliner kelangenan di seantero Jakarta–yang tentunya tidak diperoleh dengan sekejap mata saja.(mhp)
Leave a Reply