Status Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/2010
Kenali lebih jauh tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/2010 yang membahas tentang status anak di luar perkawinan.
Beberapa waktu lalu, pernah ramai dibicarakan kisah cinta “tersembunyi” antara penyanyi Machica Mochtar dengan Moerdiono, Mensesneg di zaman Orde Baru. Hubungan itu pun membuahkan seorang anak. Sayangnya, setelah itu, Moerdiono tidak mengakui dan tidak menafkahi anak tersebut. Maka, pada tahun 2010, Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, Ibu dan anak mengajukan permohonan gugatan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU tentang Perkawinan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU tentang Perkawinan yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan sebagian dari permohonan mereka. Permohonan untuk membatalkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU tentang Perkawinan tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi menilai pencatatan perkawinan sebagai diatur dalam pasal tersebut tidak hanya dimaksudkan sebagai persoalan administratif semata.
Hakikatnya pencatatan perkawinan merupakan bentuk perpanjangtanganan Negara dalam rangka melindungi warganya terutama perempuan dan anak hasil dari suatu perkawinan yang berpotensi menimbulkan kerugian. Pencatatan perkawinan mengandung aspek kepastian hukum dan perlindungan terhadap status hukum para pihak: suami, istri maupun anak sekaligus aspek jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan.
Sedangkan untuk permohonan terhadap Pasal 43 ayat (1) UU tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal tersebut harus dibaca sebagai berikut:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Berdasarkan Putusan Mahkaham Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut status anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak hanya memiliki hubungan dengan sang ibu dan keluarga ibunya namun juga dengan ayah dan keluarga ayahnya sepanjang dapat dibuktikan bahwa sang anak benar memiliki hubungan darah dari ayahnya.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menilai bahwa secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
Tentu tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut, dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Apalagi jika kepastian bapak biologis ini dapat dibuktikan melalui kecanggihan teknologi.
Akibat hukum adanya lahirnya seorang anak dari kehamilan akibat dari hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki sebagai suatu peristiwa hukum adalah timbulnya hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik antar subjek hukum yang terkait yakni anak, ibu, dan bapak.
Dalam uraiannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Berdasarkan hal tersebut maka terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi paradigma baru bagi status anak yang lahir di luar perkawinan. Sepanjang dapat dibuktikan maka anak tersebut dapat memeiliki kepastian hubungan dengan ayah biologisnya. Akibat selanjutnya dari Putusan Mahkamah ini tentu akan memperngaruhi banyak norma dan tata kehidupan yang selama ini sudah berjalan.
Kewajiban sang ayah terhadap anak tidak lepas begitu saja hanya karena tidak ada ikatan perkawinan antara dirinya dan ibu si anak. Di satu sisi tentu hal ini guna memenuhi keadilan pihak anak dan ibunya. Meskipun demikian tentu tidak dapat dipungkiri adanya pandangan yang berbeda dari sisi lain terkait dengan kewajiban dari sang ayah kepada pihak anak dan isteri dari perkawinannya yang sah.(oz)
Leave a Reply