KemenPPPA bersama KLHK, dan ADB adakan Dialog Nasional tentang Gender dan Perubahan Iklim untuk Membahas Aksi Iklim Responsif Gender
Seiring mendekatnya pelaksanaan Konferensi Para Pihak (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada 30 November hingga 12 Desember 2023, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menegaskan kembali komitmen terhadap hasil semua Konferensi Para Pihak sebelumnya, termasuk Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris, yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C pada tahun 2030 (Keputusan-/CP.27).
Melalui Rencana Implementasi Sharm El-Sheikh, Konferensi Para Pihak juga mengakui pentingnya menghormati dan mempertimbangkan hak asasi manusia dalam upaya mengatasi perubahan iklim, termasuk hak-hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat lokal, dan kelompok rentan lainnya, serta kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Untuk memenuhi komitmen Laporan Pemantauan Gender Global yg Ditingkatkan (Enhanced LWPG), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyelenggarakan “Dialog Nasional tentang Gender dan Perubahan Iklim”, guna memulai proses koordinasi awal dengan seluruh pemangku kepentingan untuk penyusunan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI). Dialog yang dilaksanakan pada 31 Juli 2023 di Hotel Shangri-La Jakarta ini melibatkan Kementerian/Lembaga, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Dunia Usaha, NGO, Badan Pengembangan Multilateral, dan Filantropi Indonesia yang terkait.
Lenny N. Rosalin, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, menyatakan bahwa Dialog Nasional ini merupakan langkah pertama dari serangkaian pertemuan yang akan diadakan untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam melaksanakan “Enhanced Lima Work Programme on Gender (LWPG).”
Dalam paparannya, Lenny mengungkapkan pentingnya mewujudkan kesetaraan gender dalam mengatasi tantangan dari dampak perubahan iklim. Dampak perubahan iklim memiliki pengaruh lebih tinggi pada perempuan. Contohnya, dalam situasi bencana, termasuk bencana akibat perubahan iklim, perempuan berisiko menjadi korban 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
“Perubahan iklim memberikan dampak yang luar biasa bagi perempuan Indonesia, di antaranya seperti ketidakamanan pangan, kesehatan dan sanitasi, akses air bersih, migrasi dan konflik, peran sosial dan ekonomi, hingga kerentanan terhadap kekerasan berbasis gender. Berbagai dampak tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan, terutama perempuan penyintas kekerasan, perempuan kepala keluarga, dan perempuan pra-sejahtera yang kondisinya dapat diperburuk dengan adanya tantangan perubahan iklim,” tutur Lenny.
Lenny menambahkan diperlukannya pemberdayaan perempuan sebagai agen perubahan iklim. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mempromosikan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, perlunya dorongan dalam hal keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan dan inisiatif lingkungan. Bukan itu saja, dukungan prakarsa yang dipimpin perempuan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong praktik berkelanjutan di komunitas mereka juga penting untuk dilakukan.
Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas, Vivi Yulaswati. Dalam paparannya, Vivi menyampaikan ada beberapa kelompok masyarakat berpotensi terkena dampak negatif yang lebih dari yang lain. Kelompok tersebut antara lain anak, perempuan, masyarakat usia lanjut, masyarakat dengan tingkat kesehatan rendah, dan masyarakat dengan tingkat akses dan mobilitas rendah.
Jiro Tominaga, Country Director, Indonesia Resident Mission, Asian Development Bank (ADB), menyatakan bahwa Dialog Nasional ini menjadi titik awal dari rangkaian pertemuan lain yang akan membuka jalan bagi pengembangan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim. Proses ini mencerminkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan mandat _Enhanced Lima Work Programme on Gender (LWPG)_.
“Perubahan iklim merupakan masalah lintas generasi yang menjadi tantangan dan memengaruhi berbagai usia dan jenis kelamin di berbagai daerah, sehingga hal tersebut harus menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya dalam mengatasi dan memastikan generasi mendatang mendapatkan masa depan yang layak dan berkelanjutan. Kami di Asian Development Bank tidak hanya berkomitmen dalam mewujudkan masa depan yang layak dan berkelanjutan semata dengan berfokus dalam penanganan perubahan iklim, tetapi juga memprioritaskan percepatan kesetaraan gender. Fokus ADB pada kesetaraan gender didasari dengan pemahaman bahwa perempuan adalah agen perubahan yang memegang kunci dalam membantu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh sesama perempuan dan masyarakat yang lebih luas dalam aksi iklim, seperti mitigasi bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim,” kata Jiro.
Melalui pertemuan ini, diharapkan dapat terkumpul informasi mengenai aksi-aksi iklim responsif gender yang telah dilakukan di masing-masing Kementerian/Lembaga, OMS, NGO, Multilateral Development Agencies, Dunia Usaha, dan Filantropi, serta hasil-hasilnya.
Selain itu, diharapkan juga tercapainya pemahaman dan komitmen bersama untuk menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim sesuai dengan mandat dari Enhanced LWPG, serta pembentukan Sekretariat Nasional Gender dan Perubahan Iklim yang akan mengawal penyusunan dan pelaksanaan dari Rencana Aksi Nasional tersebut.
Leave a Reply