Tantowi dan Liliyana: Toleransi yang Menghasilkan Prestasi

Tantowi dan Liliyana: Toleransi yang Menghasilkan Prestasi

Badminton adalah olahraga yang sangat populer di Indonesia. Sejak lama, olah raga ini juga mendatangkan segudang prestasi yang mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Atlet badminton Indonesia telah menorehkan segudang prestasi di berbagai even kejuaraan, dari super series, piala dunia, sampai olimpiade. Di luar semua itu, bulu tangkis nasional juga menyimpan kisah toleransi yang sarat akan nilai luhur bangsa. Toleransi dicontohkan secara sempurna oleh pasangan Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir.

Dua pemain ini merupakan pasangan beda suku dan agama. Tantowi Ahmad, yang akrab dipanggil Owi, adalah pemeluk agama Islam lulusan pesantren yang lahir sebagai orang Jawa di Banyumas, Jawa Tengah. Sementara, Liliyana Natsir, yang akrab dipanggil Butet, merupakan seorang Tionghoa Katolik yang berasal dari Manado. Sangat kontras perbedaan budaya dan agama kedua pemain. Tetapi, apakah perbedaan menghalangi mereka untuk berprestasi bersama?

Ternyata tidak. Mereka mampu mengesampingkan perbedaan dan bahu membahu mengharumkan nama bangsa di pentas bulu tangkis dunia. Hal ini mereka buktikan dari segudang prestasi yang bisa dibilang sudah berada pada level komplit. Bagaimana tidak, hampir seluruh kejuaraan bulu tangkis pernah mereka cicipi. Di kejuaraan super series premier mereka sudah berulang kali juara. Pun di kejuaraan dunia bulutangkis dan all England, prestasi mereka tidak kalah mentereng. Yang paling membanggakan, mereka mampu menyumbangkan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade Rio de Jeneiro, Brazil 2016. Itu semua belum termasuk prestasi yang mereka raih saat awal mula mereka meniti karier bersama sebagai ganda campuran.

Yang teranyar, toleransi antara Owi dan Butet sangat kentara ketika Indonesia Open Super Series Premier 2017 digelar. Ketika itu, Indonesia hanya berhasil meloloskan pasangan Owi dan Butet di nomor ganda campuran. Indonesia tumbang di nomor lainnya saat semifinal, bahkan beberapa tumbang saat babak pertama. Lolos ke final, Owi dan Butet akan menghadapi lawan berat, Zheng Siwei dan Chen Qinchen, pasangan asal Tiongkok yang saat itu menduduki peringkat satu dunia. Di atas kertas, Owi dan Butet yang menduduki peringkat 9 tidak diunggulkan. Terlebih, saat itu Butet belum pulih betul setelah dibekap cidera lutut.

Tetapi, diorama indahnya toleransi di antara keduanya seakan mengalihkan perhatian dari harapan-harapan tipis di atas kertas. Babak final ganda campuran akan dimulai pukul 18.30 WIB setelah shalat isa’. Sebelum bertanding, Owi terlihat khusyuk menunaikan shalat isya. Sambil melihat sepak terjang calon lawan di perangkat genggamnya, Butet terlihat sabar, menunggu pasangannya. Hal itu terjadi setelah sebelumnya Butet mendampingi Owi berbuka puasa. Sebentuk keharmonisan yang mereka bangun semenjak di luar lapangan akhirnya berbuah indah saat mereka bertanding.

Malam itu, Liliyana Natsir dan Tantowi Ahmad memenangi pertandingan final dan berhak atas gelar juara ganda campuran Indonesia Open Super Series Premier. Masing-masing merayakan kemenangan dengan cara yang berbeda. Owi selalu menadahkan kedua tangannya seraya berdoa, kemudian bersujud, sedangkan Butet mencium kalung salipnya dan berdoa menurut agamanya. Terakhir, keduanya saling berpelukan dan merayakan kemenangannya bersama.

Gelar juara ini mengakhiri paceklik gelar yang selalu menimpa tim bulu tangkis Indonesia ketika menjadi tuan rumah super series premier. Terakhir, Indonesia mampu juara 5 tahun lalu.

Kemenangan Owi dan Butet adalah sebuah refleksi toleransi yang menghasilkan prestasi. Indahnya perbedaan menjadi sebuah persatuan yang mampu mengharumkan nama bangsa–bukan malah menciderai makna toleransi dengan memecah belah kebhinekaan. Melihat kekompakan mereka, seharusnya kita malu dengan apa yang terjadi di limasa media sosial setahun terakhir. Bukan malu karena tidak bisa main bulu tangkis, tetapi karena banyak dari antara kita yang masih berkutat dengan sikap saling mengejek, menyebar ujaran kebencian antar agama, suku dan golongan dalam setahun terakhir ini.

Kita seharusnya bisa mengambil pelajaran dari Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Perbedaan itu akan selalu ada. Semuanya tergantung kita, apakah masing-masing punya kemampuan untuk memaknai toleransi secara bijak–dalam artian mengesampingkan perbedaan untuk kepentingan bangsa dan negara–atau tidak. Perbedaan bukanlah sebuah halangan untuk bersama-sama berprestasi.(as)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *