Menciptakan Lingkungan yang Suportif Bagi Sesama Perempuan
Saat mengantar anak ke sekolah, saya menyempatkan diri untuk berbincang dengan ibu-ibu yang sedang duduk santai menunggu anaknya hingga jam pulang sekolah tiba. Terdapat beberapa kelompok yang berkumpul di sudut yang berbeda. Secara acak saya mendekati salah satu di antaranya dan membuka diri untuk terlibat dalam perbincangan mereka.
Ternyata mudah saja bergabung dalam obrolan mereka. Mula-mula dengan menyediakan telinga untuk mendengar dengan seksama. Diakhiri dengan memberi rasa simpati pada ceritanya.
Seperti khasnya rumpian ibu-ibu, dalam ceritanya dibubuhi gosip terkini. Salah satunya adalah menggosipkan ibu-ibu beda kelompok (geng, dalam istilah yang berbeda). “Mungkin karena kita belum kenal mereka aja,” ujar saya saat seorang berapi-api menjelek-jelekan ibu-ibu yang lain.
Saya secara kasual mengundurkan diri kelompok pertama dan beralih ke kelompok ke dua. Kelompok yang disebut-disebut sebagai geng penguasa ibu-ibu di sekolah. Saya menggunakan teknik yang sama: menjadi pendengar dan memberi sikap yang simpatik. Hasilnya? Memuaskan, bagi saya mereka sama baiknya, sama menyenangkannya. Perkara saling menggosipkan rupanya hanya karena belum saling mengenal saja.
Pulang ke rumah, saya merenung. Jadi perempuan tidak pernah mudah karena kita sendiri yang menciptakan dramanya.
Seperti pengalaman saya di sekolah anak saya. Ketika melihat seorang anak menangis di tengah jam bermain di sekolah kanak-kanak, alih-alih memeluknya dan menenangkannya, banyak ibu yang justru lebih mudah menyalahkan ibu sang anak karena tidak mengantar dan menunggui sang anak di sekolah.
Kenapa kita tidak mendukung saja satu sama lain. Saat mengetahui bahwa salah seorang anak teman anak kita ke sekolah tidak ditunggui ibu/bapaknya, ayo kita ambil alih menjadi pelindungnya tanpa menghakimi orang tuanya. Tidak menghakimi orang lain bukanlah pekerjaan yang berat untuk, apalagi dalam hal ini sesama perempuan?
Lantas saya berpikir, bagaimana caranya agar kita dapat memutus rantai saling menghakimi antarperempuan ini?
1. Menjadi Pendengar
Mendengar curahan hati orang lain, mulut kita gatal ingin memberinya solusi. Bahkan yang terburuk, kita memberikan cerita lain sebagai studi banding dengan posisi kita yang terlihat lebih baik, misalnya dalam ungkapan seperti, “Duh, untung saya gak ngalamin kayak gitu.”
Salah besar. Berhenti memberikan studi banding. Ucapkan hal-hal simpatik yang menenanangkan, seperti: ‘kamu kuat, kamu bisa menghadapinya’ atau ‘peristiwa ini pasti berlalu, saya ikut sedih semoga kamu mendapatkan jalan keluar terbaiknya’.
2. Berikan Feedback dengan Pujian
Semua orang menyukai pujian. Bila ingin memberikan masukan, ucapkan terlebih dahulu puji-pujian. Tak perlu berlebihan, hanya sebuah apresiasi atas tindakannya. Sediakan masukan agar saling menumbuhkan, bukan menghakimi.
3. Menahan Diri untuk Memberi Penilaian
Stop menghakimi. Ucapkan lebih banyak apresiasi.
4. Menjadi Teladan Tanpa Menyombongkan Diri
Tetap rendahkan hati meski berada di titik tertinggi dalam karir. Tidak perlu merasa layak untuk dilayani, berinisiatiflah menebar semangat positif. Menyapa lebih dulu, membantu lebih dulu, dan tidak sungkan berbagi pengalaman gagal dan sukses kepada sesama perempuan.
5. Bertemu Beragam Perempuan dengan Latar Belakang
Berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat adalah sebuah hal alamiah. Namun letak bahayanya adalah kita menjadi pribadi yang tertutup. Tidak mau melihat perbedaan, sesama perempuan pun saling mengatai hanya karena tidak saling mengenal saja.
Keluar dari zona nyaman dan mulailah mengenal lebih banyak perempuan dengan minat yang berbeda. Buka pikiran kita dan mulailah menerima bahwa kita tidak hidup sendirian.
6. Ringan Tangan
Ulurkan bantuan. Berikan pertolongan.
Ayo sama-sama menciptakan ekosistem yang damai dan saling mendukung. Hidup perempuan memang rumit, buat apalah kondisi kita dibuat lebih berbelit-belit di antara sesama perempuan. Mari ciptakan warisan berupa ekosistem tempat tinggal dan kehidupan yang damai kepada anak-anak kita.(nw)
Leave a Reply