Bumi Semakin Rusak Karena Ulah Kita Bagai Gerombolan Kera Rakus

Bumi Semakin Rusak Karena Ulah Kita Bagai Gerombolan Kera Rakus

Oleh Mariana Lusia Resubun

Dari tahun ke tahun bumi kita semakin rusak. Bahkan ada yang mengibaratkan sikap kita seperti gerombolan kera rakus yang mengekploitasi bumi. Apa yang harus kita lakukan?

Hari itu, kira-kira satu setengah tahun yang lalu, saya lupa tanggal dan harinya. Tetapi saya ingat betul pada hari itu saya mengikuti mata kuliah Konservasi Tanah dan Air, di kampus saya Institut Pertanian Bogor. Dosen yang mengajar adalah Dr. Oteng Haridjaja, seorang dosen sepuh yang telah memasuki masa purna tugasnya di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Ada yang berbeda dari kuliah kami pada hari itu, karena pada pertemuan tersebut beliau tidak memberikan materi kuliah melalui penjelasan dengan OHP (overhead projector). Tetapi kami diberi kesempatan untuk menonton sebuah film dari laptop beliau yang disambungkan dengan layar infokus (LCD projector).

Sebuah film yang membuat saya merasa gemas, jengkel, sedih, sekaligus menumbuhkan semangat juang di alam bawah sadar saya. Perasaan saya campur aduk, seperti rasa permen nano-nano (manis-asam-asin), ditambah lagi dengan sebuah penyesalan hingga hari ini. Mengapa saya lupa mencatat judul film tersebut atau meminta salinannya dari beliau. Sampai dengan hari ini saya tidak tahu judul film tersebut. Mungkin pula karena salah memasukkan “kata kunci” di mesin pencari Google dan Youtube, hingga saat ini saya belum menemukan film tersebut.

Sebuah film animasi berbahasa Inggris dengan tulisan terjemahan berbahasa Indonesia. Isi film tersebut menggambarkan bumi sebagai kura-kura raksasa yang sudah tua dan kita manusia diibaratkan sebagai monyet-monyet yang licik dan rakus. Cerita dari film yang coba saya ceritakan kembali, menurut ingatan yang masih melekat di kepala saya.

Awal cerita melukiskan seekor kura-kura raksasa muda yang sedang berenang, dimana cangkang yang berada di punggungnya (karapas) berada di atas permukaan air dan ditumbuhi dengan pepohonan/hutan yang masih lebat. Di atas hutan tersebut hanya hidup beberapa ekor monyet. Monyet-monyet itu hidup dengan bebas, tidak kekurangan bahan makanan. Lalu ada monyet betina yang beranak, sehingga menambah jumlah populasi mereka. Akibatnya hutan ditebang untuk dijadikan pemukiman baru para monyet tersebut.

Kura-kura itu terus berenang, sedangkan di atas punggungnya monyet-monyet tertawa riang. Ada seekor monyet yang menemukan harta karun berupa emas. Punggung kura-kura raksasa terus digali, untuk mengambil dan mencari sebanyak mungkin emas. Monyet-monyet tersebut berkilauan dengan perhiasan emas yang melingkar di badan mereka.

Kura-kura itu semakin menua dan terus berenang, walaupun merasa kesakitan karena tubuhnya terluka akibat perbuatan para monyet. Monyet-monyet kembali berpesta, salah satu monyet mendapat sumber galian baru yaitu minyak bumi. Minyak bumi diambil dan diolah menjadi bahan bakar minyak. Monyet-monyet sekarang menjadi lebih modern, berbagai aktivitas mereka dibantu oleh mesin-mesin bertenaga bahan bakar minyak. Punggung kura-kura terus digali untuk mendapatkan lebih banyak emas dan minyak.

Kura-kura terus berenang dengan rasa sakit yang semakin bertambah. Luka di tubuhnya bertambah banyak. Monyet-monyet semakin pintar. Untuk mendapatkan uang, emas dan minyak dijual. Sumber-sumber emas dan minyak juga terus digali. Monyet-monyet semakin pandai. Emas dijual, uangnya dipakai untuk membeli mobil yang digerakkan oleh mesin-mesin berbahan bakar minyak. Monyet-monyet berpenampilan mentereng, dengan emas yang melingkar di badan dan juga dengan mobil mewah mereka.

Monyet-monyet semakin kaya dan terpelajar, jumlah mereka pun bertambah banyak. Pohon-pohon ditebang dijadikan sebagai pemukiman, kawasan industri, areal pertambangan minyak, emas, batu bara. Kura-kura terus berenang dalam kesakitannya.Di atasnya monyet-monyet terus berpesta pora, menikmati kejayaan, kemewahan dan kekayaan mereka.

Monyet-monyet bertumbuh dengan cepat, hampir tidak ada lagi pohon-pohon yang hijau diatas tubuh kura-kura tua yang malang. Semakin banyak luka diatas tubuh kura-kura itu. Monyet-monyet terus menggali punggung kura-kura, menebang pepohonan yang masih tersisa. Para monyet bersenang-senang, tubuh kura-kura adalah milik mereka. Tidak mereka pedulikan rasa sakit di tubuh kura-kura. Monyet-monyet harus sejahtera, harus bahagia, harus makmur, harus kenyang dan nyaman.

Kura-kura terus berenang dan semakin tua. Tubuhnya sangat kesakitan, punggungnya penuh dengan luka. Para monyet terus berpesta menikmati hidup mereka yang semakin dimudahkan dengan kemajuan teknologi. Pohon-pohon semakin habis, tidak ada lagi hutan yang hijau. Kura-kura tua itu sangat kesakitan, lalu datanglah hujan yang deras dari langit. Di atas tubuh kura-kura itu tidak ada lagi pepohonan yang mampu melindungi para monyet, banyak yang mati terkena longsoran air hujan atau berjatuhan dari atas tubuh kura-kura tua.

Kura-kura tua yang semula berenang di atas permukaan air, lalu mulai menyelam ke dasar laut. Para monyet pun mati, baik karena terkena longsor ataupun karena mati kehabisan oksigen akibat masuk ke dalam laut.

Inti dari cerita kura-kura raksasa tua dan monyet-monyet yang rakus adalah, saya, kamu, kita, mereka, seluruh manusia beserta segala ciptaan Tuhan yang lain, seperti hewan dan tumbuhan. Hidup dan menjadi bagian dari planet bumi. Planet yang sampai saat ini diyakini sebagai satu-satunya planet ternyaman untuk dihuni oleh makhluk hidup. Apakah kita ingin tempat tinggal kita yang nyaman ini rusak? Karena keserakahan kita sendiri. Akibat mengeksploitasi kekayaan alam secara rakus. Menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pribadi kita masing-masing, apakah kita ingin hidup dengan alam yang lestari? Ataukah kita ingin meninggalkan warisan air mata untuk anak cucu kita nanti, akibat berbagai bencana alam yang terjadi karena keserakahan manusia.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *