KNRP: RUU Penyiaran Tidak Berpihak pada Publik
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menilai Revisi UU Penyiaran (RUU Penyiaran) yang kini sedang dirancang oleh Komisi I DPR cenderung tidak berpihak pada publik dan lebih banyak mengutamakan kepentingan pemodal. Isi draf Revisi UU Penyiaran saat ini mencerminkan kemunduran jika dibandingkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang disahkan 14 tahun lalu, tepatnya pada 28 Desember 2002.
“Terdapat kesan sangat kuat bahwa DPR saat ini dengan sengaja mengubah sejumlah pasal dalam UU Penyiaran 2002 untuk kepentingan stasiun-stasiun televisi terbesar, dengan mengabaikan kepentingan publik, kepentingan sistem stasiun berjaringan, Lembaga Penyiaran Komunitas, Lembaga Penyiaran Publik, dan juga mengabaikan prinsip kebebasan pers,” ungkap Ignatius Haryanto, dari KNRP.
KNRP menduga ada kesengajaan bahwa pembahasan RUU Penyiaran sejauh ini dilaksanakan secara tertutup dengan tidak melibatkan masyarakat sipil. Draf terakhir yang diperoleh KNRP adalah draf bulan Agustus 2016. Berdasarkan draf tersebut KNRP mencatat ada sejumlah persoalan serius. Beberapa di antaranya telah disampaikan melalui rilis yang diterima Serempak.id.
Pertama, soal kepemilikan sama sekali tidak diatur dalam draf RUU. Dengan tidak adanya aturan soal kepemilikan, maka gejala penguasaan kepemilikan banyak stasiun televisi dan radio di satu tangan akan semakin menguat. Padahal UU Penyiaran tahun 2002 memuat aturan pembatasan kepemilikan media penyiaran.
Kedua, draf RUU menyatakan bahwa Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bukan merupakan kewajiban, melainkan opsional, bagi lembaga penyiaran yang hendak bersiaran ke banyak wilayah siar. Hal ini dengan sendirinya akan mematikan gagasan SSJ dan melanggengkan pemusatan siaran televisi di Jakarta. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Penyiaran tahun 2002 yang mewajibkan SSJ.
Ketiga, draf RUU menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers, karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor.
Keempat, RUU memuat ketentuan bahwa porsi iklan spot paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari setiap waktu tayang program. “Ini merupakan peningkatan porsi iklan yang luar biasa dibandingkan UU Penyiaran 2002, yang hanya menetapkan angka 20%,” kata Ignatius. Hal ini akan sangat menganggu kenyamanan khalayak dan menunjukkan keberpihakan yang tinggi kepada pemodal.
Dengan rangkaian persoalan tersebut, Draf RUU Penyiaran yang dirancang DPR dianggap merupakan langkah mundur dalam demokratisasi penyiaran Indonesia yang sebenarnya sudah dimulai 14 tahun lalu. Pada 28 Desember 2002, dengan disahkannya UU Penyiaran 2002.
“KNRP merasa prihatin bahwa DPR terkesan berusaha menyiapkan sebuah UU Penyiaran yang mengabaikan kepentingan publik dan semangat demokratisasi penyiaran, dengan menjalani proses penyiapan RUU yang tidak transparan dan tidak terbuka terhadap keterlibatan publik,” ungkapnya lagi. (rab)
Leave a Reply