Perlukah Dilakukan Perubahan Terhadap UU PKDRT?
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau disingkat dengan UU PKDRT telah menjadi salah satu instrumen hukum bagi perlindungan terhadap perempuan (khususnya) dan korban kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya selama lebih dari 10 tahun.
kdrt
Undang-Undang ini lahir dengan latar belakang yang cukup panjang. Polemik dan kontroversi yang mengiringi dibentuknya Undang-Undang ini tentu menjadi salah satu catatan bagaimana akhirnya perjuangan untuk melembagakan perlindungan bagi perempuan bisa dicapai meski harus melalui jalan yang cukup panjang.
Legalisasi perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam sebuah instrumen hukum yang cukup kuat setingkat Undang-Undang merupakan sebuah prestasi tersendiri, mengingat sosio-cultural masyarakat Indonesia saat itu (bahkan mungkin hingga saat ini) masih sangat kuat menilai bahwa domestic violance merupakan hal yang tabu untuk diangkat ke ranah hukum dan menjadi ranah publik.
Sebetulnya jauh sebelum itu, pada tanggal 24 Juli 1984, Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan. Sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Indonesia juga terikat untuk menaati Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993.
Namun membentuk Undang-Undang tersendiri sebagai suatu hukum positif bagi perlindungan kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu prestasi tersendiri. Namun lahirnya UU PKDRT bukan akhir dari cerita. Nyatanya, hingga saat ini kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan masih menduduki kasus kekerasan dengan peringkat tertinggi dibanding kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya. Laporan dan temuan dari beberapa lembaga advokasi baik milik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat masih menunjukkan adanya angka yang cukup siginifikan terkait kasus KDRT yang dilaporkan. Ya, yang dilaporkan. Ibarat puncak gunung es, bisa jadi jumlah kasus yang tidak dilaporkan masih jauh lebih banyak.
Pada saat penyusunan Proglam Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Panjang atau 5 tahunan 2015-2019, DPR dan Pemerintah bersepakat memasukan UU PKDRT sebagai salah satu UU yang harus dilakukan perubahan. Usulan ini masuk dalam daftar panjang RUU Prolegnas 2015-2019 nomor urut 112. Kedepannya perubahan ini bisa jadi hanya perubahan parsial namun dimungkinkan dilakukan penggantian secara keseluruhan. Usulan memasukan perubahan UU PKDRT datang dari Pemerintah. Sayangnya tidak ada deskripsi konsepsi dari Pemerintah yang melatarbelakangi usulan ini masuk Prolegnas.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa mendesakkah UU PDKRT ini untuk dilakukan perubahan bahkan dalam waktu hinga 5 tahun ke depan? Dari sisi yuridis normatif, sesungguhnya UU ini sudah cukup memadai dalam memberikan perlindungan bagi korban KDRT. Terlebih jika dibandingan dengan pengaturan yang terkait dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
UU PKDRT mengenalkan istilah “kekerasan dalam rumah tangga” yang tidak dikenal dalam KUHP. Istilah yang memebntuk paradigma baru dalam masyarakat bahwa hukum tindakan kekerasan dalam keluarga merupakan sesuatu hal yang serius, mengingat sikap masyarakat selama ini menganggap masalah rumah tangga sebagai masalah privat yang tidak dapat dicampuri oleh pihak luar, tabu apabila diceritakan kepada orang luar terlebih jika diproses secara hukum.
Selain itu batasan kekerasan dalam UU PKDRT jauh lebih komprehensif daripada kekerasan yang diatur dalam KUHP yang sangat fokus hanya pada kekerasan fisik misalnya penganiayaan (Pasal 356) atau pelecehan seksual yang diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat semata, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang. KUHP juga tidak mengatur alternatif hukuman kecuali pidana penjara, yang bisa membuat dilema tersendiri bagi korban. Belum lagi hak-hak korban yang serta mekanisme perlindungannya yang jauh lebih penting tidak terakomodir dalam KUHP.
Yang seharusnya menjadi fokus saat ini adalah bagaimana agar UU PKDRT dapat diimplementasikan secara optimal. Karena ternyata persoalan muncul pada tataran implementasi UU PKDRT. Berbagai terobosan hukum yang telah diatur dalam UU PKDRT tidak serta merta dipraktikkan oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus KDRT atau bahkan secara internal kendala muncul dari dalam diri perempuan korban KDRT itu sendiri.
Banyak kasus di mana korban mencabut pengaduan karena berbagai alasan dan kurangnya bukti. Di sisi lain budaya hukum dari aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya berperspektif gender. Sehingga hal yang justru mendesak sesungguhnya adalah pendampingan kepada korban KDRT dan meningkatkan pemahaman aparat hukum terhadap UU PKDRT sebagai salah satu instrumen perlindungan hukum bagi perempuan.
Perlu adanya suatu pendekatan khusus dalam menangani kasus KDRT. Selain mempraktikkan berbagai terobosan hukum yang telah diatur dalam UU PKDRT, penanganan hukum kasus KDRT harus dialkukan dalam perspektif perempuan sebagai korban. Sangat penting untuk memperhatikan aspek psikologis dalam menangani kasus KDRT. Dibutuhkan komitmen dari seluruh pihak agar dalam penanganan kasus KDRT lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hak korban KDRT.
Jika revisi atau perubahan belum dibutuhkan mengingat terobosan dalam UU PKDRT yang sudah memadai, mengapa tidak Pemerintah dan semua pihak yang terkait fokus kepada bagaimana agar ketentuan dalam UU PKDRT dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga tujuan awal pembentukannya yakni melindungi korban KDRT dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Jika perlu kiranya dapat disusun langkah konkret yang terencana, terstruktur, dan terpadu untuk mengoptimalkan pelaksanaan UU PKDRT.(oz)
Leave a Reply