Refleksi Natal dari Anak Rantau

Refleksi Natal dari Anak Rantau

Inilah sebuah refleksi Natal dari anak rantau. Semoga bisa menggerakkan hati para pembaca untuk menjadi sebuah pribadi yang lebih baik lagi.

Natal bagi kaum Nasrani adalah merayakan hari kelahiran Sang Juru Selamat, Yesus Kristus. Natal adalah hari raya keagamaan yang dirayakan seluruh umat Kristen di dunia. Saya adalah seorang perempuan Katolik yang merayakan natal.

Natal di masa kecil saya berarti baju baru, saya tidak peduli apakah bapak dan mama saya punya uang atau tidak untuk membeli baju. Tetapi natal berarti harus punya baju baru untuk dipakai ke gereja. Di rumah harus tersaji kue-kue dan minuman bersoda serta minuman berwarna-warni lainnya. Tamu yang datang ke rumah, harus disuguhi makanan dan minuman yang lezat.

Natal di masa anak-anak hingga remaja, berarti mempersiapkan segala sesuatu dengan sebaik mungkin untuk menyambut natal. Rumah dicat dan dipoles agar nampak baru. Mama membuat kue-kue natal, sembari menunggu bapak pulang dari kantor dan membawa parsel natal.

Jangan kau harap parsel natal yang dibawa pulang bapakku adalah parsel yang dibungkus dan ditata rapi berisi biskuit, wafer dan aneka minuman. Parsel yang dibawa pulang bapakku lebih tepat disebut sebagai bingkisan natal yang berisi beberapa kilogram tepung terigu, minyak goreng, gula dan beberapa botol sirup. Parsel yang cantik hanyalah milik para pejabat, bapakku bukan pejabat. Tetapi apa yang dibawa pulang oleh bapakku adalah berkat Tuhan yang luar biasa bagi keluarga kami.

Kami bukanlah keluarga kaya raya, hidup kami sangat pas-pasan. Bapak dan mama adalah pegawai negeri golongan rendah, yang mengambil kredit di bank untuk membangun rumah. Karena gaji mereka pas-pasan, ditambah dengan potongan gaji untuk membayar utang di bank. Bapak dan mama harus mencari penghasilan tambahan agar asap dapur tetap mengepul.

Bapak memiliki keterampilan sebagai tukang bangunan, bapak sering menyambi kerja sebagai buruh bangunan atau pun tukang babat rumput. Mama adalah seorang guru, sepulang sekolah beliau memberi les membaca dan menulis di rumah. Mama juga pandai membuat kue. Saya ingat mama sering menerima pesanan aneka kue basah, kue tart dan black forest dari teman-temannya.

Mama juga membuat dagangan kecil-kecilan untuk dijual di sekolah, dagangannya berupa es lilin, roti, keripik pisang dan tempe mendoan atau manisan kedondong dan mangga. Entahlah bagaimana kedua orang tuaku itu membagi waktu mereka. Kami anak-anaknya tinggal terima beres, setiap hari kami bisa makan walaupun makan kami seadanya. Nasi dari beras jatah yang kadang sudah penuh dengan ulat beras, sayur dan lauk (walaupun lauknya hanya tempe atau tahu ataupun bakso yang dijatah seorang tiga butir pentolan).

Saya selalu merasa bersyukur mempunyai seorang mama yang berprofesi sebagai guru. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar, spesialis kelas kecil (kelas 1 dan 2). Mengajar di kelas kecil dilakoninya selama bertahun-tahun. Baru setelah saya duduk di bangku SMA, beliau pindah mengajar di kelas besar (kelas 5). Butuh kesabaran yang luar biasa bagi guru-guru untuk mengajar di kelas kecil, karena menghadapi anak murid yang kadang buang air di kelas, rewel, cengeng dan sebagainya.

Salah satu keuntungan menjadi guru adalah ketika hari raya tiba, ada saja orangtua murid yang membawa “oleh-oleh” ke rumah. Orangtua murid membawakan kue, puding, biskuit atau minuman kaleng ke rumah. Ini bukan “suap”, melainkan ungkapan penghargaan dan terima kasih para orangtua untuk mama.

Sedari kecil hingga dewasa di rumah saya di Merauke, kami terbiasa menerima tamu pada saat Natal dari berbagai golongan agama. Ketika Natal teman-teman Muslim berkunjung ke rumah. Pada saat lebaran kami berkunjung ke teman, kerabat dan sanak saudara beragama Islam. Pada saat Imlek, kami juga terbiasa berkunjung ke rumah teman-teman etnis Tionghoa. Sehari setelah hari raya Nyepi kami juga berkunjung ke rumah saudara-saudara yang beragama Hindu.

Ketika saya masih sangat kecil di tempat kelahiran saya di Senggo. Bapak membuat pohon Natal dari pohon cemara (Casuarianaceae), pohon tersebut ditebang bapak dan dibawa pulang ke rumah. Mama dan kami anak-anak, membuat hiasan dari kapas dan benang wol warna-warni. Ketika hijrah ke kota Merauke, pohon cemara susah didapatkan, sehingga kami tidak mempunyai pohon Natal lagi.

Pada masa itu, pohon Natal dari plastik adalah barang mewah. Hanya dimiliki oleh segelintir orang. Bapak mengakalinya dengan membuat pohon Natal dari nilon yang dirangkai pada kayu yang dibentuk menyerupai pohon natal, lalu memasangnya dengan lampu warna-warni.

Natal di masa remaja hingga dewasa berarti saya meminta uang pada mama, lalu pergi ke salon. Tujuan saya pergi ke salon adalah untuk mempercantik diri dengan meluruskan rambut saya yang keriting dan kribo. Natal di masa itu berarti harus tampil cantik dengan rambut “baru”. Natal adalah ketika kami-kami yang berambut keriting “tiba-tiba” berambut lurus, sehingga akan nampak seperti model iklan shampo. Natal di masa dewasa, adalah saat bapakku telah pergi untuk selamanya.

Natal di masa dewasa adalah ketika kakakku membeli pohon natal yang tinggi dan megah. Pohon Natal itu berukuran besar, tingginya hampir 3 meter, dengan aneka hiasan warna-warni dan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Pohon Natal itu adalah “balas dendam” kakakku, karena di masa kanak-kanak kami tidak punya pohon Natal. Kami meletakkan pohon Natal di ruang tamu, sehingga “memenuhi” seluruh ruangan.

Banyak teman-teman dan adik tingkatku yang beragama Muslim apabila datang bersilahturahmi, senang sekali berfoto di sini. Namun karena ukurannya yang “memenuhi” ruangan, untuk tahun-tahun selanjutnya pohon Natal tersebut bepindah tempat ke teras.

Saya bersekolah di sekolah dasar negeri, namun SMP dan SMA saya di sekolah swasta Katolik. Ketika kuliah saya melanjutkannya di kampus negri, sehingga kembali memiliki teman dan sahabat dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda dengan saya. Hari raya Natal atau Lebaran atau Imlek atau Nyepi, bagi kami di Merauke selain merupakan ajang silahturahmi sekaligus juga reuni bagi teman lama yang sudah lama tidak bertemu.

Di masa kuliah di Merauke, saya mempunyai beberapa sahabat yang beragama Muslim. Rumah saya, adalah “home base” bagi sahabat-sahabat saya tersebut. Mereka berasal dari suku Jawa, Padang, Bugis dan Makassar. Kami adalah “partner in crime” dan juga teman jalan bareng ketika hari raya Lebaran atau Natal tiba. Kami akan berkumpul di satu rumah dan sama-sama jalan ke rumah teman-teman dan dosen.

Seorang sahabat pria saya putra asli Solok-Sumatera Barat. Ketika Lebaran tiba, saya akan berburu rendang ke rumahnya. Atau ketika Lebaran tiba saya akan mencari dodol Kuprik di rumah teman saya, yang merupakan gadis keturunan Makassar dan Jawa-Merauke. Atau saya akan berburu bakso di rumah teman asli Tulungagung-Jawa Timur, atau berburu coto Makassar di rumah teman yang asli Maros-Sulawesi Selatan. Mereka adalah sahabat yang tidak pernah absen datang ke rumah saya, saat Natal tiba.

Sekarang saya berada di kota studi Bogor. Saya mendapat banyak sahabat baru dari seluruh Indonesia. Jujur ketika merayakan Natal pertama kali di Bogor, saya kaget dan sedikit sedih karena sahabat-sahabat saya yang beragama Muslim tidak mengucapkan “Selamat Natal” kepada saya. Saya yang dilahirkan di tanah Papua dan terbiasa hidup dalam suasana yang benar-benar ber-Bhineka Tunggal Ika. Beragam suku bangsa dan agama, hidup rukun dan damai, menjunjung tinggi toleransi, serta saling mengunjungi dan bersilaturahmi ketika hari raya keagamaan tiba. Memang ada beberapa sahabat yang mengatakan, “Selamat Natal Lusy”. Atau ada sahabat yang mengatakan, “Selamat Berbahagia untuk Lusy dan keluarga”, walaupun ucapan tersebut tanpa mengucapkan Selamat Natal. Suasana di Bogor berbeda dengan di Merauke.

Seperti saya katakan di atas, awalnya saya kaget dan sedikit sedih. Namun akhirnya saya memahami dan mengerti, bahwa alasan teman-teman saya tersebut tidak mengucapkan selamat Natal kepada saya karena mereka meyakini suatu perintah agama yang melarang mengucapkan selamat Natal kepada saya.

Apakah saya menjadi marah dan membenci teman-teman saya tersebut? Tentu saja tidak. Saya sangat mengasihi mereka, seperti mereka sangat mengasihi saya. Di dalam kelas, saya satu-satunya yang berbeda dengan teman-teman, baik dari segi fisik maupun agama. Apakah itu menjadikan saya dimusuhi dan dibenci oleh mereka? Tidak. Mereka sangat mengasihi saya, walaupun saya berbeda.

Teman-teman saya, menghargai dan menghormati saya ketika saya menginap di kosan mereka dan harus berdoa novena jam 12 malam. Mereka menghargai, tidak mengusik ketika saya berdoa. Atau ketika ada teman yang main ke kosan, dan waktu sholat tiba. Saya tidak punya sajadah, maka saya mengambil kain sarung saya yang masih bersih dari lemari sebagai alas teman beribadah.

Apakah saya harus menuntut mereka sahabat-sahabat saya yang tidak mengucapkan Selamat Natal kepada saya? Agar membalas ucapan Selamat Idul Fitri yang saya berikan kepada mereka. Tentu saja saya tidak perlu menuntut. Karena cinta kasih yang mereka berikan kepada saya, dan memperlakukan saya sebagai sesama manusia itu sudah cukup bagi saya. Saya sangat menghargai dan menghormati apa yang mereka yakini.
Saya tidak perlu mempertanyakan alasan teman-teman saya tersebut, seperti mereka yang tidak pernah mempertanyakan alasan saya mengimani ajaran Yesus. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Itu saja. Saling menghargai dan menghormati tanpa mengusik dan menyakiti.
Saya sangat menghargai dan menghormati, teman-teman Muslim yang memberikan ucapan Selamat Natal kepada kami.

Terima kasih banyak, ucapan Natal dari kalian bagaikan oase di padang pasir, di tengah maraknya pemberitaan media tentang berbagai isu agama yang muncul. Isu-isu tersebut berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan. Tentu saja dalam konteks ini, bukan saudara-saudara kaum Muslim di Papua atau Maluku atau Nusa Tenggara Timur yang saya maksud. Karena kami di Indonesia Timur, sudah terbiasa dengan keberagaman, sudah terbiasa saling mengucapkan selamat hari raya atau saling mengunjungi bukanlah hal yang baru dan asing bagi kami.

Natal bagiku di masa kini bukan lagi soal baju baru, rambut baru, atau banyaknya hidangan kue dan minuman yang lezat. Natal bagiku di masa kini, adalah soal hati yang bersih. Berusaha mengampuni dan belajar menerima diri sendiri serta belajar bertenggang rasa. Natal bagiku adalah menjadi manusia baru, keluargaku sehat, sahabat-sahabatku bahagia, dan berharap semua orang diliputi damai sejahtera, sukacita, kesehatan yang baik dan bahagia, apapun agama dan sukunya.

#anak kampung dari Merauke (Mariana Lusia Resubun)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *