Sumur-Kasur-Dapur: Stigma atau Paradigma?

Sumur-Kasur-Dapur: Stigma atau Paradigma?

Dewasa ini, perempuan Indonesia sudah banyak yang menduduki posisi penting–dari kepala divisi sampai komisaris di berbagai perusahaan multinasional, hingga jabatan pemerintahan seperti bupati, walikota, menteri, hingga presiden. Namun, di berbagai situasi masih sering kita jumpai wanita Indonesia dicap dengan patron sosial kuno sumur, kasur, dapur–stigma yang kemudian dijadikan dalih bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan tinggi.

Pada perkembangannya, banyak perempuan yang kemudian merangsek maju ke ranah publik untuk melawan stigma tersebut. Sayangnya, di zaman yang semakin modern ini, “perjuangan” para perempuan untuk mendapatkan pendidikan demi melawan stigma justru sering mengakibatkan terbengkalainya ranah domestik. Lama-kelamaan, perjuangan itu hanya bermuara pada tujuan agar perempuan bisa bekerja dan memiliki profesi, sama seperti lelaki.

Padahal, jika kita mau mengkaji ulang, peran perempuan dan laki-laki–istri dan suami dalam kehidupan rumah tangga–tidak melulu berdasarkan patron sosial yang selama ini ada, melainkan berdasarkan kesepakatan.

Menurut saya, yang paling penting bukanlah melawan stigma lewat pembuktian terbalik. Namun, paradigma berpikir kitalah yang mestinya dibebaskan dari patron sosial kuno tersebut–dari awalnya “karena perempuan berkutat di ranah sumur, kasur, dan dapur, maka perempuan TIDAK memerlukan pendidikan tinggi” menjadi “karena perempuan berkutat di ranah sumur, kasur, dan dapur, maka perempuan HARUS berpendidikan tinggi”.

Mengapa demikian? Karena perempuan berpendidikan akan mandiri secara intelektual. Dan perempuan yang mandiri secara intelektual tahu ke mana harus mencari informasi. Berikut beberapa alasannya.

  1. Sumur

Sumur merupakan simbol sanitasi. Berkaitan dengan kebersihan rumah dan lingkungan. Seorang perempuan, seorang ibu, tentu harus memiliki pengetahuan yang cukup agar kebersihan rumah dan lingkungannya terjaga.

Contoh kecil saja, idealnya sikat gigi harus diganti tiga bulan sekali. Ini untuk menjaga agar sikat gigi itu tetap berfungsi secara maksimal, juga agar tidak melukai gusi ketika dipakai. Berapa persen ibu di Indonesia yang tahu tentang ini?

Oke, itu hanya sikat gigi. Bagaimana dengan penanganan jentik nyamuk? Bagaimana dengan ventilasi udara, penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya, memilah sampah, dan lain-lain? Jika tidak berpendidikan cukup, bagaimana seorang perempuan dapat memikul tanggung jawab sebesar ini

2. Kasur

Kasur tidak hanya mewakili kehidupan seksual, tetapi juga reproduksi dan maternity. Kehamilan, bersalin, nifas, dan menyusui adalah hal yang sangat kompleks. Mitos turun-menurun saja tidak akan cukup untuk bekal seorang istri dan ibu. Kasus-kasus kesehatan ibu dan anak sebetulnya bisa ditekan jika semua perempuan Indonesia cukup teredukasi.

3. Dapur

Bukan, ini bukan tentang keahlian memasak. Ini justru berkaitan erat dengan kesehatan dan pemenuhan gizi keluarga, terutama anak-anak. Berapa banyak ibu di Indonesia yang betul-betul paham bahwa MPASI baru bisa diberikan setelah bayi berusia 6 bulan karena pada saat itulah lambungnya sudah siap? Berapa banyak ibu di Indonesia yang tahu bahwa bayi di bawah 1 tahun belum boleh diberi garam dan gula?

Selama ini, kasus-kasus bayi kurang gizi, usus buntu, gagal ginjal, atau masalah kesehatan lainnya seolah-olah hanya menjadi PR besar tenaga kesehatan. Penyuluhan-penyuluhan kepada kaum ibu diberikan hanya sebagai langkah “menambal kebocoran”. Memang, gizi anak tidak selalu diajarkan di sekolah, tapi seorang ibu yang cerdas tentu akan tahu ke mana harus mencari informasi, bukan?

Itu baru MPASI, belum lagi kebutuhan gizi secara keseluruhan. Tak usahlah jauh-jauh kepada penghitungan kalori, pemenuhan vitamin, protein, dan semacamnya. Cara memasak sayur bayam saja dulu. Jika kita masih menemukan seorang ibu yang memanaskan kembali sayur bayam yang telah dimasak, berarti kita sudah dalam fase darurat edukasi untuk para ibu.

Pada ruang lingkup yang lebih luas, seorang perempuan tidak hanya berperan sebagai penjaga sumur, kasur, dan dapur. Di dalam rumah, seorang perempuan, seorang ibu rumah tangga, juga akan berperan sebagai guru, akuntan, dokter, ahli gizi, desainer interior, kasir, psikolog anak, petugas pemadam kebakaran, dan sebagainya, dan sebagainya.

Jika perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang cukup, bagaimana bisa menjalankan 1001 peran tersebut?

Selain mandiri secara intelektual, perempuan yang teredukasi juga memiliki kans yang lebih besar untuk mandiri secara ekonomi. Pengaruhnya tentu lebih besar lagi bagi keberlangsungan hidup keluarga. Bila sebuah keluarga diibaratkan sebagai kapal dan suami adalah nakhoda, maka istri adalah juru sekoci penyelamat yang mencegah awak kapal tenggelam di saat darurat.

Jadi, barangkali memang benar bahwa perempuan identik dengan sumur, kasur, dan dapur. Dan, karena tiga hal tersebut memiliki urgensi tinggi, setiap perempuan haruslah cukup teredukasi, bukan sebaliknya. (eL)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *