Undang-Undang Perkawinan Perlu Direvisi. Mengapa?

Undang-Undang Perkawinan Perlu Direvisi. Mengapa?

Lembaga perkawinan merupakan lembaga reproduksi, yang diharapkan melahirkan manusia-manusia baru yang akan menjadi bagian dari peradaban.

Peradaban akan berkembang apabila manusia di dalamnya adalah manusia yang sehat, sehingga lembaga perkawinan diharapkan melahirkan manusia – manusia sehat.

Manusia sehat, hanya akan lahir dari ibu yang sehat, maka wajarlah jika perempuan yang masuk ke lembaga perkawinan seharusnya adalah perempuan yang sehat. Perempuan seperti apakah , yang disebut perempuan sehat?. Reproduksi seperti apakah yang disebut reproduksi yang sehat?.

Menurut BKKBN ( 2001 ), bahwa kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan.

Dari sisi usia, kelompok usia yang dianggap matang untuk melahirkan adalah usia 21 – 35 tahun, kerena pada usia ini, perempuan telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Usia ini, dianggap usia yang ideal untuk melahirkan, karena minimnya resiko yang dihadapi saat melahirkan. Terutama resiko yang berkaitan dengan gangguan kesehatan, baik kesehatan ibu maupun kesehatan bayi.

Tentang kematian ibu dan anak

Sampai saat ini, persoalan kematian ibu dan bayi masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan, dan ditengarai bahwa maraknya pernikahan dini memberikan kontribusi yang signifikan pada tingginya angka kematian ibu maupun bayi.

Menurut BKKBN, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ( SDKI ) tahun 2012 datanya menunjukkan bahwa 12,8 % perempuan usia 15 – 19 tahun sudah menikah. BKKBN juga menunjuk data tahun 2013 bahwa ada 5.019 ibu yang meninggal disebabkan kehamilan dan persalinan. Lalu berdasar SDKI 2012, diestimasi bahwa bayi yang meninggal mencapai 160.681 anak.
Sedangkan Badan Pusat Statistik ( BPS ) bersama United Nations International Children’s Emergency Fund ( UNICEF ) meluncurkan Buku Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2015, perkawinan usia anak di Indonesia, khususnya perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun tercatat sebesar 23 persen.

Data –data di atas menunjukkan bahwa angka pernikahan usia dini di Indonesia masih cukup tinggi, dan ini merupakan maslah sosial yang membutuhkan perhatian.

Pertanyaannya? Kenapa di Indonesia banyak perkawinan dengan usia perempuan di bawah 17 tahun? Karena Undang-undang mengijinkan. Inilah persoalannya.

UU Perkawinan

Berbagai data yang dirilis oleh BKKBN menunjukkan bahwa pernikahan dini di Indonesia menjadi salah satu penyebab kematian ibu dan bayi. Bahkan Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak.

Pertanyaannya adalah, kenapa perkawinan anak demikian tinggi di Indonesia? Sebenarnya bagaimana ketentuan perundangan tentang perkawinan di Indonesia? Mari kita lihat bagaimana isi UU Perkawinan Indonesia. Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8: “Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”.

Pasal-pasal tersebut di atas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Dari peraturan perundang-undangan di atas, tampak bahwa usia minimal yang diijinkan oleh hukum negara untuk perkawinan pada perempuan adalah usia 16 tahun.

Bisa dipastikan bahwa karena Undang-undang memberikan payung hukum atau melindungi perkawinan usia 16 tahun bagi perempuan, maka tentu membawa implikasi pada legalitas perkawinan usia muda.

Menurut penulis, Undang-undang perkawinan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut karena menyangkut peristiwa reproduksi, menyangkut kualitas kesehatan generasi penerus. Setidaknya ada beberapa hal yang menurut penulis bisa menjadi acuan, bahwa UU Perkawinan perlu ditinjau ulang :

  1. Bertentangan dengan UU Perlindungan Anak
    UU Perlindungan Anak, pasal menyatakan bahwa batas usia dewasa adalah berumur 18 tahun, 2 tahun lebih dari batas umur minimal yang dinyatakan dalam UU Perkawinan.
  2. Secara internasional, bertentangan dengan HAM
    Konvensi Hak Anak menetapkan usia anak sampai usia 18 tahun, dimana mewajibkan setiap negara, untuk meningkatkan batas usia pernikahan. Menikah pada usia 16 tahun seperti yang ditetapkan Undang-undang, menimbulkan situasi dimana anak belum mampu melindungi dirinya sendiri.
  3. Menghambat pembangunan SDM
    Pada usia 16 tahun adalah usia dimana seseorang masih menjadi tanggungjawab negara, terutama haknya mendapatkan pendidikan.
  4. Perkawinan dini rentan KDRT
    Usia belia yang memasuki lembaga perkawinan, ditengarai rentan KDRT, karena belum memiliki kesiapan psikhis, mental dan sosial.
  5. Melahirkan generasi yang tidak berkualitas
    Ibu yang masih belia, akan melahirkan bayi yang yang beresiko tinggi, berpotensi untuk melahirkan geenrasi yang tidak berkualitas.
  6. Berpotensi meningkatkan kemiskinan
    Belum siapnya kondisi perekonomian pasangan muda, akan menambah daftar keluarga miskin.
    Setidaknya beberapa sebab diatas menjadi catatan bagi penulis, jika UU Perkawinan masih membutuhkan penyempurnaan agar memberikan kontribusi yang positif bagi lembaga perkawinan, yang berarti juga memberikan kontribusi pada pembangunan manusia.

Sebuah Undang-undang yang merupakan peraturan dalam kehidupan manusia, diharapkan bisa memberikan kontribusi pada perkembangan peradaban.(nf)

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *