Sisi Lain Hukuman Kebiri
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mensahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu ) Nomor 1 tahun 2016, perubahan kedua nomor 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak .
Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang ini dirasa perlu karena kejahatan seksual pada anak-anak di Indonesia semakin lama semakin meningkat.
Pada Perpu yang baru disahkan itu, pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak dapat dihukum dengan hukuman mati. Selain itu juga diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan dan tindakan lain bagi pelaku, seperti dikutip dari Tempo.co.
Presiden Jokowi menyatakan pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjaran paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Ancaman hukuman mati dan hukuman seumur hidup masuk dalam pemberatan pidana.
Untuk tambahan pidana alternatif yang diatur adalah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik. Menurut Presiden, penambahan pasal itu akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya. Tujuannya agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
Secara sepintas, payung hukum yang melindungi anak dari kekerasan seksual memang efektif, namun persoalannya tidak sesederhana itu.
Berhubungan dengan HAM.
Ketika palu hukum sudah diketuk kemudian hukuman kebiri benar-benar diterapkan, apa yang mungkin terjadi? Kemungkinan yang pertama, adalah kemungkinan yang diharapkan oleh para penegak hukum dan oleh segenap masyarakat, yaitu efek jera bagi pelaku.
Tapi benarkah hukuman kebiri itu efektif untuk diterapkan? Ternyata tidak selalu begitu, karena dengan hukum kebiri, akan lahir persoalan baru, terutama kaitannya dengan si pelaku.
Coba kita evalusasi akibat dari kebiri itu
- Melemahnya atau bahkan hilangnya nafsu seksual atau libido, dan bukan hanya libido saja yang berkurang. Karena akan merembet pada munculnya permasalahan kesehatan yang menurun secara keseluruhan.
- Di dalamnya termasuk kemungkinan terkena penyakit kolesterol tinggi, diabetes, gangguan pada jantung, dan sebagainya, akibat menurunnya metabolisme.
- Dalam dunia kedokteran, kebiri akan berpotensi mengurangi otot, dan menimbulkan penumpukan lemak. Hal ini menyebabkan menurunnya semangat hidup.
- Salah satu cara kebiri adalah dengan injeksi hormon antiandrogen, yaitu hormon anti laki-laki. Selain berdampak sama dengan kebiri non suntik, pada kebiri suntik antiandrogen ini jangka panjangnya akan menimbulkan pengeroposan pada tulang.
Beberapa akibat dari kebiri mungkin secara rinci masih bisa dicari informasinya, namun terlihat di sini bahwa kebiri itu berhubungan dengan terenggutnya hak asasi seseorang.
Terlepas dari kesalahan melakukan kejahatan, beberapa kalangan menganggap bahwa kebiri adalah pelanggaran hak. Di antaranya adalah hak seseorang untuk melanjutkan keturunannya.
Hukum kebiri juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1998, dimana indonesia mengesahkan Konvensi Menentang Penyiksaan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi dan Merendahkan martabat Manusia.
Hukum kebiri juga bertentangan dengan Ketentuan Pasal 286 ayat ( 2 ) Konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan eprlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Jadi hak-hak asasi manusia menjadi banyak yang dilanggar ketika hukum kebiri ini diberlakukan. Selain itu sejak hukuman kebiri disosialisasikan ke masyarakatpun tampaknya tidak menunjukkan ada penurunan pada kasus kekerasan seksual pada anak.
Perkosaan Bukan Sekadar Persoalan Kelamin
Saya ingat dengan pernyataan Kang Maman Suherman ketika menjadi salah satu nara sumber pada acara yang diadakan oleh Serempak Indonesia, beberapa waktu yang lalu. Menurut Kang Maman, bicara soal kekerasan seksual, atau perkosaan bukan persoalan yang menyangkut kelamin semata, tapi jauh lebih kompleks dibandingkan dengan hanya soal seks atau soal kelamin saja.
Kekerasan seksual adalah pemaksaan kehendak dari seseorang yang memiliki otoritas atau kekuasaan, terhadap orang yang dipandang lemah. Dengan kata lain perkosaan bisa terjadi karena adanya subordinasi dan penindasan terhadap pihak yang lemah.
Demikian juga kekerasan seksual pada anak, sebenarnya karena pihak yang kuat, pihak yang berada pada posisi superior tidak menempatkan dirinya secara posisi yang semestinya. Superioritas semestinya diletakkan sebagai sosok yang mengayomi, melindungi, sebagai pamomong bagi yang lemah.
Kekerasan seksual menunjukkan dirinya bukan semata-mata soal seks belaka, namun ini persoalan kekerasan antar manusia, sekaligus merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang yang mengganggu sendi-sendi peradaban, karena kekerasan seksual membawa akibat trauma sepanjang kehidupan korban.
Kekerasan seksual bahkan sekarang bisa dialami oleh siapa saja, oleh perempuan, anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Bahkan perkosaan juga sangat mungkin terjadi pada sesama jenis.
Kekerasan seksual tidak selalu berasal dari hasrat seksual, namun lebih kepada sebuah hasrat penguasaan atau dominasi, kepada pihak yang diasumsikan sebagai pihak yang lemah, pihak yang tak berdaya.
Kekerasan seksual adalah paradigma yang mengatakan bahwa sang superior, yang berkuasa boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya, boleh memaksakan apapun kepada siapa saja.
Kenapa hukuman kebiri perlu dilihat dari sisi lain? Karena bertentangan dengan hak asasi manusia, dan tidak akan menjadi solusi jangka panjang terhadap persoalan ekekrasan seksual.
Upaya menghentikan kekerasan seksual, menjadi tugas negara untuk melakukannya. Selain menegakkan hukum, juga dengan mensosialisasikan pada masyarakat luas dengan berbagai cara sehingga mampu merubah paradigma yang ada di masyarakat.(nf)
Leave a Reply