Kenali Ciri-Ciri Seorang Pendidik Sejati
Menjadi seorang guru atau pendidik adalah sebuah profesi atau pekerjaan yang mulia. Namun, ternyata seorang pendidik sejati juga harus memiliki ciri-ciri berikut ini. Apa sajakah itu?
Setiap mengajar saya selalu membagi dua waktu. Satu jam menjelaskan materi pelajaran dan satu jam memotivasi siswa menjadi generasi petarung masa depan. Metode ini saya lakukan karena siswa tidak sekadar hanya butuh seorang guru untuk memandu melakukan kajian-kajian ilmiah, tetapi membutuhkan seorang inspirator yang bisa menginspirasi.
Siswa tidak sekadar membutuhkan dosen untuk mengajarkan teori-teori ilmiah, tetapi seorang pembimbing yang bisa diajak berdialog bagaimana menaklukkan gelombang kehidupan. Lima puluh persen perkembangan anak didik akan tergantung pada kualitas lingkungan akademisnya, khususnya pada kepribadian dan kemampuan pendidiknya.
Menyelesaikan persoalan masa depan tidak hanya membutuhkan rumus-rumus ilmiah, tetapi membutuhkan kemampuan dan kecerdasan menggali segala potensi diri. Karena itu seorang pendidik di setiap tingkatan institusi pendidikan harus memiliki kemampuan menggerakkan. Kekuatan memprakarsai atau menghasilkan gerakan. John Adair, profesor pertama di dunia dalam Leadership Studies mengatakan, “Seorang guru yang hebat adalah memiliki kekuatan antusiasme yang memacu, menghidupkan, dan menginspirasi, meskipun pelajaran-pelajaran yang diberikannya mungkin dilupakan.”
Pendapat John Adair ini mengisyaratkan bahwa sejatinya pendidik sejati itu tidak ditentukan oleh penampilannya yang terkesan ilmuwan tetapi tidak mampu menjabarkan ilmu-ilmunya untuk menginspirasi dan menggerakkan anak didiknya melakukan restorasi dalam dirinya.
Jadi tugas pendidik sejati adalah tidak sekadar mentransfer teori-teori ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, tidak hanya mengkomunikasikan konsep-konsep ilmiah kepada peserta didiknya, tetapi lebih dari itu esensi dari tugas seorang pendidik sejati adalah “Meyakinkan dirinya dan meyakinkan seluruh anak didiknya bahwa setelah mengikuti pelajarannya akan menjadi orang sukses.”
Seorang pendidik sejati sebaiknya memahami ungkapan ini, “Jangan menjual ikan di tengah penjual ikan, jangan menjual sayur di tengah penjual sayur, tetapi jual lah ikan di tengah penjual sayur, atau jual lah sayur di tengah penjual ikan.” Maksudnya jangan bertanya lagi satu tambah satu kepada siswa karena pasti diabaikan. Seorang pendidik harus tampil dengan konsep-konsep atau bahan-bahan pembelajaran yang baru untuk terus menambah wawasan anak didiknya.
Jangan memberitahukan anak didiknya sesuatu yang kemungkinannya mereka sudah tahu. Setiap mengajar harus ada sesuatu yang baru diberikan kepada anak didiknya yang berkaitan dengan proses menata masa depannya. Setiap pendidik harus menemukan hal-hal baru untuk diajarkan kepada siswa. Sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu Firman Allah tentang ilmu: Dan, Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah itu sangat besar.(QS. An-Nisa : 113)
Tugas pendidik sejati adalah menjadikan anak didik cerdas dalam matra kognitif, afektif dan psikomotorik. Matra kognitif maksudnya menjadikan peserta didik cerdas intelektualnya, matra afektif menjadikan anak didik memiliki sikap dan perilaku yang sopan, dan matra psikomotorik menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif dan efesien, serta tepat guna. Dengan demikian, pendidik senantiasa dihadapkan pada peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya. Sehingga bisa melahirkan peserta didik yang berbudi luhur, memiliki karakter sosial dan profesionalisme.
Untuk menjadi pendidik sejati, perlu memahami metode pembelajaran Ibnu Khaldun, ia menentang metode verbalisme dalam pengajaran dan menghindari hafalan yang tidak memahami sesuatu yang dapat dibuktikan melalui panca indera dan bahasa pelajaran yang dihafalkan anak didik. Karena menghafal dengan cara demikian ini akan menghambat kemampuan memahami. Menurutnya cara yang paling gampang dalam memahami ilmu adalah kelancaran berbicara dalam diskusi dan pembahasan tentang problema ilmiah, maka ia akan dapat memahami seluk-beluk yang terkandung dalam problema dan dapat memperoleh pengetahuan tentang maksud tujuan yang sebenarnya. Ibnu Khaldun tidak menyetujui mengajar dengan cara verbalistik.(sm)
Leave a Reply